Wednesday, January 8, 2014

Indonesia, Jangan Asal Contoh Arab!

Di abad ke-7, Nabi Muhammad yang mengklaim dirinya utusan Allah menjadi suluh pembaharu untuk bangsa-bangsa di Tanah Arab yang di masa itu hidup dalam kegelapan: menyembah berhala, membunuh anak perempuan, memelihara budak, dan lain lain tindakan jahiliyah. Sepeninggal Nabi Muhammad, agama dan budaya Islam berkembang pesat, melebihi batas negara dan tanah Arab, sehingga berbagai kerajaan besar bernafaskan Islam terdirikan dari Mongolia, India Utara, sampai ke Eropa. Yang terbesar ialah kesultanan Ottoman yang berpusat di Turki modern dan menguasai tanah Arab dan sekitarnya di Timur Tengah. Selama ratusan tahun hingga abad ke-15, bangsa-bangsa Muslim di Timur Tengah mewarisi dan memelihara tradisi berpikir logis dan kritis dari Yunani kuno (Hellenisme) yang dibiarkan mati suri oleh bangsa-bangsa Eropa sejak kekaisaran Romawi mengadopsi agama Kristen sebagai agama negara dan bersekutu dengan Gereja Katolik Roma untuk menjadi penguasa mutlak.



Akan tetapi, sejak Renaissance (Enlightenment / Pencerahan) di tanah Eropa di abad ke-15, bangsa-bangsa Eropa kembali maju pesat, karena mereka kembali berpikir logis, dan bahkan lebih kritis daripada pola pemikiran Yunani kuno (Hellenisme). Mereka menyambut metode sains dengan mesra dan pada umumnya meninggalkan jalan pemikiran kuno yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, dan dengan bijaksana mereka memisahkan ranah politik dan ilmu pengetahuan dari ranah agama. Sebaliknya, bangsa-bangsa Arab, Turki, dan Persia lambat untuk memeluk metode ilmu pengetahuan dan terpesona oleh masa kejayaan mereka.



Apalagi sejak ditemukannya minyak di awal abad ke-20, para penguasa di Tanah Arab makin pandai membodohi rakyat mereka demi mempertahankan kekayaan dan kekuasaan. Sementara negara-negara lainnya makin maju prestasinya, bangsa-bangsa Arab makin jauh tertinggal. Perang, kalah melulu. Ilmu, kalah. Olahraga, kalah. Lalu kekalahan-kekalahan itu dengan mudah dimanfaatkan oleh pemuka-pemuka agama dan pemimpin-pemimpin negara untuk menyulut rakyat yang tidak berpendidikan atau berpengetahuan sempit. Pengajaran agama berhaluan garis keras ala Salafi dan Wahabi malah laris. Yang paling buruk, mereka tidak mau menganalisa secara rasional, mengapa terjadi ketinggalan tersebut.



Untunglah, di jaman modern ini masih ada penilaian jujur dan pengakuan diri yang rasional dari para cendekiawan dan ilmuwan Arab sendiri, yang menulis laporan tentang pembangunan manusia Arab (Arab Human Development Report), yang di laporan perdananya pada tahun 2002 mendiagnosa sebab-sebab malaise yang melanda bangsa-bangsa Arab, yaitu: 
  1. Kurangnya hormat terhadap hak asasi manusia dan aturan main yang adil
  2. Kurang / tidak adanya peranan wanita
  3. Ketidakpedulian terhadap akuisisi ilmu pengetahuan

Walaupun tidak sempurna, dalam hal-hal tersebut negara dan bangsa Indonesia jauh lebih maju. Pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia ialah orang-orang terpelajar. Sukarno insinyur teknik yang mempu berbahasa Belanda, Inggris, dan Prancis, dan melahap buku-buku dari berbagai cendekiawan dunia. Hatta, seorang ekonom berpikiran progresif, yang bahkan sempat menulis buku Alam Pikiran Yunani.



Dalam hal demokrasi dan tata negara, pergantian kekuasaan di Indonesia kini berlangsung damai melalui pemilihan umum. Memang korupsi masih menjadi penyakit yang akut, tetapi dengan terpilihnya Jokowi / Ahok sebagai pemimpin DKI, ada harapan bahwa pemimpin yang bersih bisa menang dalam pemilu bellweather yang didukung rakyat.



Peranan wanita dalam perjuangan kemerdekaan maupun dalam pembangunan sangatlah besar. Wanita bebas bekerja, menyetir mobil sendiri, dan pulang-pergi tanpa harus dikawal. Jika kita amati negara-negara Muslim lain yang relatif lebih maju daripada negara-negara Arab, seperti Turki, Iran, dan Malaysia, peranan wanita di negara-negara itu luar biasa lebih bebas dan maju dibandingkan dengan Arab Saudi dan Mesir, dua negara terbesar di Tanah Arab.



Dalam hal perlindungan hak asasi manusia, misalnya hak-hak kaum minoritas untuk beribadah, sejak kemerdekaan, sekolah-sekolah negeri dan swasta di Indonesia mengajar menurut kurikulum nasional, dan agama diajarkan sebagai kepercayaan pribadi tanpa pemaksaan. Pemeluk Ahmadiyah bahkan menjalin hubungan khusus dengan Bung Karno karena mereka mendukung / meyumbang untuk perjuangan kemerdekaan.



Sayangnya, justru sejak Orde Baru tumbang dan mulainya era Reformasi di tahun 1998, dan terutama di masa pemerintahan SBY, tumbuhlah gerakan ultra konservatif yang mau mentah-mentah menyerap apapun yang berbau Arab, contoh-contohnya:
  1. Dengan atribut surban, baju khamiz putih panjang, jenggot ala kambing, dan nama-nama berbau Arab, seseorang boleh meng-klaim “habib”. Dengan dibarengi golok ala algojo Arab, dan berteriak Allahu Akbar, gerombolan terorganisir boleh seenaknya menyerang orang-orang yang berbeda yang tidak disukainya. Tempat-tempat ibadat yang sudah punya ijin dan menang sampai ke Mahkamah Agung diintimidasi dan ditutup dengan paksa, tanpa ada pembelaan dari polisi atau pemerintah. 
  2. Walikota Blitar mengancam mau menutup sekolah-sekolah Katolik karena tidak mau mengajarkan agama Islam untuk murid yang Muslim, walaupun upaya ini kemudian batal karena berbagai macam tentangan dari masyarakat yang masih mampu berpikir rasional. 
  3. Berbagai aturan mau dibuat untuk menekan perempuan dari sudut pandang laki-laki, atas nama agama. Di Lhokseumawe, walikota membuat aturan bahwa naik sepeda motor harus duduk samping seperti jaman feodal di abad pertengahan. RUU Anti Pornografi diajukan yang antara lain isinya melarang aurat diperlihatkan di tempat umum, tanpa mengindahkan adat istiadat setempat yang sudah berabad-abad.
  4. Di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Menteri Pendidikan berdasarkan masukan Menteri Agama mau mengganti kurikulum nasional agar ilmu pengetahuan dikurangi dan pengajaran agama ditingkatkan.


Yang masih mampu dan mau berpikir rasional jadi bertanya-tanya: weleh weleh, kok malah negara dan masyarakat Indonesia mau mengimplementasikan hal-hal yang oleh cendekiawan Arab sendiri sudah diidentifikasi sebagai akar masalah ketertinggalan bangsa Arab? Kan malah mundur?



Setelah budaya Islam ditekan oleh pemerintah Orde Baru atas nama stabilitas nasional, dapat dimaklumi bahwa dalam waktu 15 tahun sejak reformasi, budaya Islam tumbuh subur. Hendaknya budaya Islam yang tumbuh subur ini lebih menekankan nilai-nilai moralitas dan rasa keadilan sosial yang tinggi, daripada sekedar memajang ritual dan memamerkan kulitnya saja, dan menonjolkan segala sesuatu yang berbau Arab. Semoga bangsa Indonesia tidak melupakan sejarah, bahwa Islam masuk Indonesia dengan mengakulturasi budaya nasional dan lokal yang beragam dan telah ada sejak jaman Sriwijaya, Pajajaran, dan Majapahit. Semoga yang diserap dari tanah Arab ialah diagnosa yang jujur seperti yang ditulis di dalam Arab Human Development Report yang pertama di tahun 2002, bukannya fanatisme ultra-konservatif. 

Mudah-mudahan yang diserap dan diteruskan ialah semangat reformasi yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk menegakkan keadilan, yang menghormati pemeluk agama minoritas. Mudah-mudahan yang diserap dari tanah Arab bukanlah kebencian tidak rasional yang dengan gampang menyalahkan bangsa-bangsa lain, pemeluk agama lain, dan perasaan bahwa diri sendiri selalu menjadi korban (victim mentality). 

Maukah umat Islam dari organisasi-organisasi yang sudah berakar di Indonesia bersikap tegas dan memperjuangkan Islam yang konservatif dalam moralitas dan keadilan, tetapi progresif dalam bernegara dan bermasyarakat?