Wednesday, January 8, 2014

Indonesia, Jangan Asal Contoh Arab!

Di abad ke-7, Nabi Muhammad yang mengklaim dirinya utusan Allah menjadi suluh pembaharu untuk bangsa-bangsa di Tanah Arab yang di masa itu hidup dalam kegelapan: menyembah berhala, membunuh anak perempuan, memelihara budak, dan lain lain tindakan jahiliyah. Sepeninggal Nabi Muhammad, agama dan budaya Islam berkembang pesat, melebihi batas negara dan tanah Arab, sehingga berbagai kerajaan besar bernafaskan Islam terdirikan dari Mongolia, India Utara, sampai ke Eropa. Yang terbesar ialah kesultanan Ottoman yang berpusat di Turki modern dan menguasai tanah Arab dan sekitarnya di Timur Tengah. Selama ratusan tahun hingga abad ke-15, bangsa-bangsa Muslim di Timur Tengah mewarisi dan memelihara tradisi berpikir logis dan kritis dari Yunani kuno (Hellenisme) yang dibiarkan mati suri oleh bangsa-bangsa Eropa sejak kekaisaran Romawi mengadopsi agama Kristen sebagai agama negara dan bersekutu dengan Gereja Katolik Roma untuk menjadi penguasa mutlak.



Akan tetapi, sejak Renaissance (Enlightenment / Pencerahan) di tanah Eropa di abad ke-15, bangsa-bangsa Eropa kembali maju pesat, karena mereka kembali berpikir logis, dan bahkan lebih kritis daripada pola pemikiran Yunani kuno (Hellenisme). Mereka menyambut metode sains dengan mesra dan pada umumnya meninggalkan jalan pemikiran kuno yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, dan dengan bijaksana mereka memisahkan ranah politik dan ilmu pengetahuan dari ranah agama. Sebaliknya, bangsa-bangsa Arab, Turki, dan Persia lambat untuk memeluk metode ilmu pengetahuan dan terpesona oleh masa kejayaan mereka.



Apalagi sejak ditemukannya minyak di awal abad ke-20, para penguasa di Tanah Arab makin pandai membodohi rakyat mereka demi mempertahankan kekayaan dan kekuasaan. Sementara negara-negara lainnya makin maju prestasinya, bangsa-bangsa Arab makin jauh tertinggal. Perang, kalah melulu. Ilmu, kalah. Olahraga, kalah. Lalu kekalahan-kekalahan itu dengan mudah dimanfaatkan oleh pemuka-pemuka agama dan pemimpin-pemimpin negara untuk menyulut rakyat yang tidak berpendidikan atau berpengetahuan sempit. Pengajaran agama berhaluan garis keras ala Salafi dan Wahabi malah laris. Yang paling buruk, mereka tidak mau menganalisa secara rasional, mengapa terjadi ketinggalan tersebut.



Untunglah, di jaman modern ini masih ada penilaian jujur dan pengakuan diri yang rasional dari para cendekiawan dan ilmuwan Arab sendiri, yang menulis laporan tentang pembangunan manusia Arab (Arab Human Development Report), yang di laporan perdananya pada tahun 2002 mendiagnosa sebab-sebab malaise yang melanda bangsa-bangsa Arab, yaitu: 
  1. Kurangnya hormat terhadap hak asasi manusia dan aturan main yang adil
  2. Kurang / tidak adanya peranan wanita
  3. Ketidakpedulian terhadap akuisisi ilmu pengetahuan

Walaupun tidak sempurna, dalam hal-hal tersebut negara dan bangsa Indonesia jauh lebih maju. Pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia ialah orang-orang terpelajar. Sukarno insinyur teknik yang mempu berbahasa Belanda, Inggris, dan Prancis, dan melahap buku-buku dari berbagai cendekiawan dunia. Hatta, seorang ekonom berpikiran progresif, yang bahkan sempat menulis buku Alam Pikiran Yunani.



Dalam hal demokrasi dan tata negara, pergantian kekuasaan di Indonesia kini berlangsung damai melalui pemilihan umum. Memang korupsi masih menjadi penyakit yang akut, tetapi dengan terpilihnya Jokowi / Ahok sebagai pemimpin DKI, ada harapan bahwa pemimpin yang bersih bisa menang dalam pemilu bellweather yang didukung rakyat.



Peranan wanita dalam perjuangan kemerdekaan maupun dalam pembangunan sangatlah besar. Wanita bebas bekerja, menyetir mobil sendiri, dan pulang-pergi tanpa harus dikawal. Jika kita amati negara-negara Muslim lain yang relatif lebih maju daripada negara-negara Arab, seperti Turki, Iran, dan Malaysia, peranan wanita di negara-negara itu luar biasa lebih bebas dan maju dibandingkan dengan Arab Saudi dan Mesir, dua negara terbesar di Tanah Arab.



Dalam hal perlindungan hak asasi manusia, misalnya hak-hak kaum minoritas untuk beribadah, sejak kemerdekaan, sekolah-sekolah negeri dan swasta di Indonesia mengajar menurut kurikulum nasional, dan agama diajarkan sebagai kepercayaan pribadi tanpa pemaksaan. Pemeluk Ahmadiyah bahkan menjalin hubungan khusus dengan Bung Karno karena mereka mendukung / meyumbang untuk perjuangan kemerdekaan.



Sayangnya, justru sejak Orde Baru tumbang dan mulainya era Reformasi di tahun 1998, dan terutama di masa pemerintahan SBY, tumbuhlah gerakan ultra konservatif yang mau mentah-mentah menyerap apapun yang berbau Arab, contoh-contohnya:
  1. Dengan atribut surban, baju khamiz putih panjang, jenggot ala kambing, dan nama-nama berbau Arab, seseorang boleh meng-klaim “habib”. Dengan dibarengi golok ala algojo Arab, dan berteriak Allahu Akbar, gerombolan terorganisir boleh seenaknya menyerang orang-orang yang berbeda yang tidak disukainya. Tempat-tempat ibadat yang sudah punya ijin dan menang sampai ke Mahkamah Agung diintimidasi dan ditutup dengan paksa, tanpa ada pembelaan dari polisi atau pemerintah. 
  2. Walikota Blitar mengancam mau menutup sekolah-sekolah Katolik karena tidak mau mengajarkan agama Islam untuk murid yang Muslim, walaupun upaya ini kemudian batal karena berbagai macam tentangan dari masyarakat yang masih mampu berpikir rasional. 
  3. Berbagai aturan mau dibuat untuk menekan perempuan dari sudut pandang laki-laki, atas nama agama. Di Lhokseumawe, walikota membuat aturan bahwa naik sepeda motor harus duduk samping seperti jaman feodal di abad pertengahan. RUU Anti Pornografi diajukan yang antara lain isinya melarang aurat diperlihatkan di tempat umum, tanpa mengindahkan adat istiadat setempat yang sudah berabad-abad.
  4. Di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Menteri Pendidikan berdasarkan masukan Menteri Agama mau mengganti kurikulum nasional agar ilmu pengetahuan dikurangi dan pengajaran agama ditingkatkan.


Yang masih mampu dan mau berpikir rasional jadi bertanya-tanya: weleh weleh, kok malah negara dan masyarakat Indonesia mau mengimplementasikan hal-hal yang oleh cendekiawan Arab sendiri sudah diidentifikasi sebagai akar masalah ketertinggalan bangsa Arab? Kan malah mundur?



Setelah budaya Islam ditekan oleh pemerintah Orde Baru atas nama stabilitas nasional, dapat dimaklumi bahwa dalam waktu 15 tahun sejak reformasi, budaya Islam tumbuh subur. Hendaknya budaya Islam yang tumbuh subur ini lebih menekankan nilai-nilai moralitas dan rasa keadilan sosial yang tinggi, daripada sekedar memajang ritual dan memamerkan kulitnya saja, dan menonjolkan segala sesuatu yang berbau Arab. Semoga bangsa Indonesia tidak melupakan sejarah, bahwa Islam masuk Indonesia dengan mengakulturasi budaya nasional dan lokal yang beragam dan telah ada sejak jaman Sriwijaya, Pajajaran, dan Majapahit. Semoga yang diserap dari tanah Arab ialah diagnosa yang jujur seperti yang ditulis di dalam Arab Human Development Report yang pertama di tahun 2002, bukannya fanatisme ultra-konservatif. 

Mudah-mudahan yang diserap dan diteruskan ialah semangat reformasi yang dibawa oleh Nabi Muhammad untuk menegakkan keadilan, yang menghormati pemeluk agama minoritas. Mudah-mudahan yang diserap dari tanah Arab bukanlah kebencian tidak rasional yang dengan gampang menyalahkan bangsa-bangsa lain, pemeluk agama lain, dan perasaan bahwa diri sendiri selalu menjadi korban (victim mentality). 

Maukah umat Islam dari organisasi-organisasi yang sudah berakar di Indonesia bersikap tegas dan memperjuangkan Islam yang konservatif dalam moralitas dan keadilan, tetapi progresif dalam bernegara dan bermasyarakat?

Saturday, August 22, 2009

Sekelumit tentang Hokkian, Hokchia, Hinghua, Hakka


Kebanyakan imigran Tionghoa di Asia Tenggara – dan karena itu di Indonesia – berasal dari dua propinsi di Tiongkok bagian selatan: Kanton (Mandarin: Guangdong) dan Hokkian (Mandarin: Fujian). Di Indonesia pada khususnya, lebih banyak yang berasal dari propinsi Hokkian dibandingkan dari Kanton. Maka di jaman Hindia Belanda bahasa yang digunakan sebagai lingua franca di antara orang Tionghoa – di samping bahasa Melayu pasaran -- ialah bahasa Hokkian. Belakangan setelah gerakan nasionalis tumbuh di Asia, dan gelombang imigrasi baru dari Tiongkok datang di tahun 1930-an ke Asia Tenggara barulah bahasa Mandarin diajarkan di sekolah-sekolah Tionghoa.

Sebenarnya yang disebut bahasa Hokkian itu dituturkan hanya oleh mereka yang tinggal di bagian selatan propinsi Hokkian, karena itu dalam sebutan standar bahasa tersebut disebut bahasa Minnan (Min = bangsa Hokkian, nan = selatan). Bahasa Minnan ini banyak juga variasinya, seperti yang sekarang dituturkan di Medan, Penang, Taiwan, Amoy (Xiamen), Tiochiu (Chaozhou), dll., tetapi garis besarnya sama. Kalau seseorang dari Medan bicara bahasa Hokkian menurut dialeknya, orang Taiwan kurang lebih masih bisa mengerti, dan sebaliknya.

Banyak sekali kata-kata bahasa Minnan yang terserap di dalam bahasa Indonesia sehari-hari, misalnya kata sebutan gua (aku), lu (kamu); kata-kata yang berhubungan dengan menghitung, misalnya ceceng (1000), cepek (100), gocap (50), jigo (2-5), jisamsu (234) yang menjadi merk rokok; kata kerja, misalnya kia (berangkat atau jalan), ciak (makan). Bahkan frase “tjia ha mi?” (makan apa?) yang biasa diucapkan oleh seorang teman jika teman yang lain berbuat sesuatu yang hebat (yaitu misalnya “hebat sekali pukulan servis tadi, makan apa lu tadi pagi”), disalahkaprahkan menjadi “tjiamik”, yang artinya dalam bahasa gaul di Indonesia “luar biasa”!

Yang tidak banyak diketahui orang ialah perkecualiannya. Banyak orang Tionghoa di Indonesia yang berasal dari propinsi Hokkian juga, tapi bagian utara. Mereka ini bahasanya lain, yaitu bahasa Minbei (bei = utara). Penutur bahasa ini yang paling banyak tinggal di kota Fuzhou (baca: fu-chow, atau Hokchiu dalam bahasa Minnan) dan Fuqing (baca: fu-ching, atau Hokchia dalam bahasa Minnan). Di Indonesia, lebih banyak orang Hokchia daripada Hokchiu. Sedangkan di Malaysia, terutama di Serawak, lebih banyak orang Hokchiu. Dialek Hokchia dan dialek Hokchiu hampir sama, hanya lagu/intonasinya yang berbeda. Karena kota Fuzhou lebih besar, yang lebih diakui lebih standar ialah dialek Hokchiu. Bahasa Hokchia ini banyak menggunakan bunyi sengau. Misalnya, almarhum kakek saya (lahir sekitar 1910, datang ke Indonesian sekitar tahun 1930) dulu kalau berpura-pura marah suka memanggil saya ngong-ngiang (ngong = bodoh, ngiang = bocah), yang dalam bahasa Minnan kalau diterjemahkan bebas menjadi khong kia. Orang Minnan kalau mau makan bilang cia-peng, orang Minbei bilang sia-mang. Kalau mau pamitan bilang gua seng kia, orang Minbei bilang ngua sieng kiang, yang berarti saya jalan dulu, ya. Dari bunyinya yang mirip-mirip ini kitorang tahu bahasa-bahasa tersebut masih basudara.

Sampai sekarang pun, orang-orang dari sekitar Hokchiu/Hokchia ini masih berdatangan ke mana-mana, sah atau gelap: Jepang, Amerika Serikat, bahkan sampai ke kepulauan kecil di Pasifik yang bernama Mariana Islands. Pernah saya ajak papa saya jalan-jalan ke gunung di dekat taman nasional Yosemite di California, untuk melihat pemandangan salju. Kita mampir di kota kecil di kaki gunung yang namanya Sonora. Di sana kita mampir makan di dua restoran Chinese pada hari yang berlainan. Yang satu, Great Wall, ternyata milik orang Hokchiu. Yang lain, Wok and Sushi, ternyata milik orang Hokchia.

Papa saya yang lahir dan besar di Surabaya sampai terkaget-kaget, di kaki gunung terpencil pun, orang Hokchia/Hokchiu bisa sampai ke sana dan jadi pemilik restoran! Karena papa saya (usia di tahun 2009 = 70 tahun) lancar berbahasa Minbei, dia mengajak pelayan restoran Great Wall untuk ngobrol dalam bahasa ibu. Dia tanya, bisa pesan makanan Hokchiu nggak? Dijawab, nggak bisa, karena di sini mereka masak untuk pelanggan yang kebanyakan orang “hua-ngiang” (dalam bahasa Hokkian “huana”, artinya orang asli), jadi menunya yang umum-umum saja. Papa saya termenung sejenak, lho, kok di Sonora terpencil ini banyak orang Jawa? Akhirnya dia tersenyum sendiri, karena sadar yang disebut oleh pelayan tersebut sebagai orang asli ialah orang kulit putih, bukan orang pribumi dari Jawa!

Di Indonesia, banyak pendatang dari Hokchia dan keturunannya yang sukses menjadi pengusaha, misalnya Liem Sioe Liong (Sudono Salim), Tjoa Ing Hwie (pendiri perusahaan rokok Gudang Garam di Kediri dan Rumah Sakit Adi Husada di Surabaya), dan Alim Markus (bos Maspion), semuanya keturunan Hokchia. Ada juga yang jadi olahragawan, seperti bekas pemain dan pelatih bulutangkis nasional Thing Hian Houw (Tang Xianhu), yang karena PP 10/1959 pergi ke Tiongkok. Entah kenapa, para pedagang kain di Surabaya pun semua orang keturunan Hokchia.

Selain orang Hokchia, orang Tionghoa dari propinsi Hokkian yang datang ke Indonesia ada juga yang berasal dari sekitar kota Putian, yang memanggil dirinya orang Hinghua (Mandarin: Xinghua). Bahasanya masih termasuk kelompok bahasa Min, tapi lain lagi dari bahasa Minbei/Hokchia dan bahasa Minnan/Hokkian, karena kota Putian ini ada di tengah-tengah propinsi antara Xiamen (pusat Hokkian selatan) dan Fuzhou (pusat Hokkian utara). Menurut sahibul hikayat, orang Hinghua ini pada waktu datang di Malaysia dan Indonesia pertama kali menjadi penarik becak / rickshaw. Dari situ mereka berkembang menjadi pemilik bengkel sepeda, lalu mempelajari pembuatan onderdil becak dan sepeda, sampai akhirnya menjadi pemilik toko dan pabrik sepeda. Tidak percaya? Coba ke jalan Bongkaran di Surabaya, tanyailah pemilik toko sepeda, pasti orang Hinghua. Tanya orang Tionghoa pemilik pabrik sepeda, kebanyakan pasti orang Hinghua, hehehe.

Selama 18 tahun tinggal di Surabaya, jarang sekali saya bertemu dengan orang Kanton yang berbahasa Kanton, hanya ada satu-dua keluarga yang saya tahu. Pendatang dari propinsi Kanton yang paling banyak di Indonesia justru perkecualiannya, yaitu orang Hakka (Mandarin: Kejia). Orang Hakka ini menurut sejarahnya berasal dari Tiongkok utara (Tiongkok secara budaya dan geografis dibagi menjadi utara dan selatan oleh sungai Yang-tze). Kemudian karena perang atau bencana alam berangsur-angsur orang Hakka ini menetap di propinsi Kanton di perbatasan propinsi Hokkian. Maka itu oleh orang Hokkian dan Kanton asli mereka disebut Khek, artinya tamu atau pendatang. Sudah begitu, keturunannya masih berimigrasi lagi ke Asia Tenggara. Kalau imigran pada umumnya punya reputasi sebagai pengambil risiko yang ulet bekerja, orang Hakka ini imigran kuadrat. Di kalangan orang Tionghoa, mereka mempunyai reputasi bagus sebagai kaum yang sangat menanamkan pentingnya keuletan, pengetahuan, dan pendidikan tinggi bagi anak-anaknya. Perdana Menteri Singapura yang pertama Lee Kuan Yew ialah orang Hakka.

Karena dulu kebanyakan orang Hakka/Khek ini lebih tinggi pendidikan dan ekonominya daripada orang Hokkian kebanyakan, ada prasangka buruk yang berkembang di antara orang Hokkian di Jawa, karena iri hati. Olok-oloknya antara lain: "khek-lang, habis nyekek, hilang", hehehe. Artinya, kalau tidak ada kepentingan ekonomisnya, orang Khek dianggap tidak mau solider dengan orang Tionghoa lain. Mirip dengan stereotype yang salah terhadap orang Tionghoa pada umumnya di mata sebagian kalangan orang Indonesia pribumi.

Mudah-mudahan sekarang sudah tidak ada lagi prasangka buruk dan salah ini. Karena toh semuanya sudah tidak lancar berbahasa Tionghoa. Mandarin saja sepatah-patah dan kalaupun bisa logatnya sangat amburadul; apalagi Hokkian, Hokchia, Khek, Hinghua … forget about it! Pada dasarnya semua orang Indonesia keturunan Tionghoa mengambil identitas utama sebagai orang Indonesia. Identitas ke-2 sebagai orang Tionghoa, titik, tidak pakai embel-embel Hokkian, Hokchia, Hinghua, atau Hakka. Ini bagus. Kalau mau belajar bahasa Tionghoa, ya belajar Mandarin saja, yang standar dan dimengerti orang semilyar. Hokkian, Hokchia, Hinghua, Hakka, dan lain-lain hanya sekedar tahu sajalah, untuk cerita ke anak cucu, agar semangat dan jiwa imigran yang ulet dan entrepreneurial tetap diwariskan dari generasi ke generasi.

Monday, December 1, 2008

Nonton Jake Shimabukuro di San Francisco

Sebagai bagian dari San Francisco Jazz Festival tahun 2008, Jake Shimabukuro, 32 tahun, menggelar konser pendek di Palace of Fine Arts di San Francisco, California, pada tanggal 9 November. Kalau belum pernah dengar tentang Jake, dia ini pemain ukulele luar biasa, extraordinary. Kalau mendengar ukulele, langsung kita berpikir, oh gitar kecil bersenar empat, untuk mengiring lagu-lagu Hawaii. Jaman saya kecil di Indonesia, Mang Udel aktor dan pelawak dari Jawa Barat itulah yang suka main ukulele di TVRI. Jake ini, walaupun kelahiran Hawaii, tidak menggunakan ukulelenya untuk main mengiringi lagu-lagu macam Somewhere Over the Rainbow yang dipopulerkan kembali oleh mendiang Israel Kamakawiwo (Iz), atau Tiny Bubbles-nya Don Ho. Si Jake ini jauh-jauh membengkokkan persepsi kita tentang ukulele, karena ia menggunakannya untuk main dan menciptakan lagu-lagu dari berbagai macam genre: jazz, klasik, rock, dan tradisional.

Saya pertama kali tahu Jake dari YouTube. Karena saya penggemar Tommy Emmanuel, pemain gitar finger-style picking dari Australia, iseng-iseng saya cari Tommy Emmanuel di YouTube. Salah satu video yang tersedia ialah duetnya bersama Jake Shimabukuro memainkan lagunya George Harrison dari the Beatles, While My Guitar Gently Weeps. Kebetulan istri juga melihat, langsung kesengsem, dan menemukan konser pendeknya yang memperbolehkan keluarga membawa anak-anak. Siang itu Jake tampil prima seperti diharapkan. Dia membuka dengan suatu lagu gitar klasik, disusul dengan lagu tradisional Jepang Sakura Sakura sebagai tribut terhadap tanah nenek moyangnya. Jari-jemarinya menari-nari, yang kiri berjalan, berlari sepanjang leher ukulelenya; yang kanan memetik, menggenjreng dan terkadang menghentak. Walaupun postur tubuhnya kecil, tangan dan lengannya berotot akibat latihan main berjam-jam setiap hari. Ekspresi wajahnya seakan-akan ia berada di awing-awang, sangat menikmati permainannya sendiri, seperti orang kerasukan roh dewa ukulele


Dengan lincah ia pindah dari satu genre ke genre lain. Karena ini festival jazz, ia mainkan lagu standar Spain karangan Chick Corea, yang dipopulerkan secara vokal oleh Al Jarreau di tahun 80-an. Ini lagu sulit, baik secara vokal maupun instrumen. Di awalnya lagu ini pelan menirukan bagian andante dari lagu gitar klasik dari Spanyol, Concierto de Aranjuez. Kemudian ia naik tempo. Bagian cepatnya seperti orang berdansa samba, dan melodinya cepat seperti orang bernyanyi scat. Semua itu dimainkan sempurna dengan ukulele! Di lain lagu yang dikarangnya sendiri, ia memainkan ukulele seakan-akan ia main piano, lengkap dengan denting-denting dan latar belakang bas – lihai sekali dia mereproduksi suara dari alat musik sebesar piano dari ukulele yang hanya sepanjang lengan tangan.


Tidak lupa dia berdialog dengan penonton, ketika memainkan lagu Crazy G. Di sini ia memainkan ukulele seperti gitar swing jazz yang mengingatkan saya kepada Django Reinhardt (pemain gitar swing di tahun 1930-an) dan filmnya Woody Allen tentang pemain gitar swing yang dibintangi Sean Penn, Sweet and Lowdown (1999). Selang beberapa menit, ia berhenti, dan penonton serentak bilang: Faster! Lebih cepat! Begitu berulang-ulang sampai kecepatan strumming-nya yang maksimum. Penonton senang, anak-anak terhibur dan terbangun dari kantuk karena udara yang mulai dingin di bulan November.


Di sela-sela lagu Jake mengadakan tanya jawab dengan anak-anak. Dalam berbagai jawabannya yang diselingi humor, dia memberi nasehat agar anak-anak melakukan dan membuat sesuatu yang mereka suka, agar mereka punya motivasi dari dalam diri sendiri. Dia juga mendapatkan inspirasi dari orang-orang terkenal lainnya macam Bruce Lee, yang mampu memfokuskan otak dan usaha mereka dengan latihan selama bertahun-tahun untuk menjadi yang terbaik. Bukan anak-anak saja, saya yang sudah setengah tua ini pun ikut terinspirasi untuk fokus dan berlatih untuk memperbaiki cara berpikir dan bekerja.


Menjelang akhir konser ia mainkan lagu yang membuatnya seorang rock star di YouTube, While My Guitar Gently Weeps. Dia mempesona seluruh penonton di ruang konser itu. Walaupun sudah berkali-kali mendengarnya, tidak bosan kita melihat dan mendengarnya lagi, karena memang permainan dan ekspresinya yang tiada duanya.


Setelah konser, dengan senang hati Jake mau memberikan tanda-tangan dan diajak foto bersama oleh penggemarnya yang antre sampai dekat pintu keluar. Benar-benar orang hebat yang rendah hati. Sayang sekali saya lupa bawa ukulele yang baru saya beli dari Hawaii waktu liburan bulan Juli lalu. Setelah konser selesai, kita makan di restoran Burma Superstar, dan seperti biasa, saya pesan Mow Hin Ga, kuah ikan kental yang rasanya hampir persis sama dengan soto ayam Pak Said Asli di Jalan Ambengan, Surabaya!

Thursday, March 27, 2008

Yap Lip Keng, prominent Indonesian Chinese and grandpa's friend


Grandpa died when I was 10. Since he spoke mainly Hokchia language and I spoke mainly Indonesian, we hardly got to know each other well. As a result I only knew him through my father's stories.

Growing up in grandpa's house in Surabaya, our family friends consisted of those whose elders had come from the same village in Fuqing (Hokchia) in the Fujian province. For some reasons, Hokchia immigrant-entrepreneurs became quite successful in Indonesia, including the once-richest-man-in-Indonesia Lim Sioe Liong, Chairman and CEO of Maspion Group Alim Markus , and the founder of Indonesia's top 3 kretek cigarette maker Gudang Garam, Tjoa Ing Hwie. None of them were close friends of our family; even though grandpa did alright, we were not rich.

One of my grandfather's close friends was Yap Lip Keng, a Kuomintang activist prior to World War II and later the Republic of China's consul to Surabaya. I was able to find the profile of grandpa's friend in a book (to be exact, in a Google Book's snippet) on Prominent Indonesian Chinese written by Leo Suryadinata, a professor at the National University of Singapore. Born in China, Yap and grandpa would be those classified as totok by Mr. Suryadinata. My generation, because of Suharto's ban on Chinese schools and language since 1966, could not speak Chinese fluently and went to Indonesian schools. We mixed with the children of peranakan Chinese and some - like I - fell in love and married them.

Just before we got married, family members discovered that Yap Lip Keng's niece (the daughter of his brother Yap Lip Hong) had married my mother-in-law's cousin, a doctor in Banjarmasin. There was a sigh of relief on both sides, since even though culturally we came from totok and peranakan backgrounds, we were already considered "family" (yi jia ren). This was a far cry from my grand-uncle's almost violent rejection two decades earlier, when his daughter wanted to marry a peranakan boy, even though he was a university graduate and a relative/descendant of the famed Oei Tiong Ham, Southeast Asia's richest man in the early 20th century. (They married anyway.)

Nowadays, practically all of Chinese in Indonesia are Indonesian citizens, speak mostly Indonesian, and despite the looser regulation governing the celebration of Chinese culture, identify themselves as Indonesian first, and Chinese second. We are all for practical purposes, peranakan.

Wednesday, September 26, 2007

The Accidental Polyglot

What do you call a person who can speak two languages? Bilingual. Three languages? Trilingual. How about one language? Not monolingual, just American. As English speakers and inhabitants of the only superpower left, Americans are spoiled when it comes to learning and speaking other languages. A pity, given America's past and ongoing history as a country of immigrants. Instead of seeing the wave of immigrants as an opportunity to learn a different language, many Americans blame them for not learning English fast enough and speaking it properly. When traveling, say, in Europe, Americans complain that the French people do not want to speak English even though they know how. Another lost opportunity.

There's no better time to start learning another language than when you're very young. When I was growing up in East Java, I heard at least five languages spoken at the same time. I lived in my paternal grandparents' home in downtown Surabaya. My grandpa and grandma knew only the Hokchia language -- a close relative of the Fuzhou language in northern Fujian, China – and spoke it exclusively with my father and his nine brothers and sisters. They sent my father and his siblings to Chinese schools post World War II; consequently they spoke Mandarin with each other, with a heavy dose of low Javanese and the bazaar Malay commonly spoken among the ethnic Chinese community in Java. By the time my siblings and I entered school in the 70s, the Suharto regime had closed all Chinese schools, banned the usage of Chinese language in public, and constrained the celebration of Chinese festivals to private homes. As a result, my generation went to Indonesian schools and speak mainly Bahasa Indonesia. And so it was. We spoke bazaar Malay with the brothers and sisters; proper Bahasa Indonesia with the teachers and civil servants; Javanese with school friends, the housekeepers; and bazaar Malay with a smattering of Mandarin with our parents, aunties and uncles. With the grandparents, we spoke the little Hokchia that we knew and sign language.

My father and mother have nine brothers and sisters each, and we had to properly call the aunties and uncles in the Hokchia language. In Chinese culture, paternal aunties and uncles are called differently from the maternal aunties and uncles. The husband of your father's elder sister is not just uncle, he is "father's sister's husband". The wives of your father's brothers have ranks: father's big brother's wife, father's 2nd brother's wife, father's third brother's wife, and so on.

It's amazing that the past four generations of my family have each been speaking a different main language. My grandparents spoke only Hokchia throughout their lives, my parents mainly speak Mandarin (although they also speak Hokchia and Indonesian), my generation speaks mainly Indonesian, and my children speak mainly English. Speaking a different language is a way to understand another culture, and it is probably one of the greatest gifts that parents can give to their children.

Wednesday, September 19, 2007

You May be Gay, but I am Gay-er

Many times people have asked me, usually after they get comfortable, "How is it that a Chinese looking guy like you have Gerdyman as a last name?" One confessed that she had expected the usual suspects as answers: I was adopted by German or Scandinavian parents after escaping a civil war somewhere in the Far East, I changed it after living in the USA to sound cool, etc. The truth is a little bit complicated.

I am Indonesian by birth and Chinese by ethnicity. Up till my father's generation (he is now 68), all Chinese people in Indonesia were also considered citizens of China. In the 1960s, economic envy and political pressure from the Army drove the Sukarno government to pass laws to force Chinese to stop trading in the rural areas, to choose Indonesian citizenship, and to change their names to anything but Chinese names.

Many Chinese Indonesians (Orang Tionghoa) decided to go to the ancestral homeland (hui guo) in Mainland China rather than suffer the indignities of discrimination. This was helped by the heavy campaign of the communist party to persuade Overseas Chinese (huaqiao) to return, hoping for foreign exchange after failed economic policies. The vast majority, my father included, did not see a future in Red China, decided to stay, choose Indonesian citizenship, and adopt a different name.

Since my family lived in East Java, naturally he looked for Javanese sounding names. Wanting to preserve the family name GE (Hokkian, pronounced like "gay" in English), he combined it with the Javanese suffix -diman, with an "r" to smooth things out. Hence, the family name Gerdiman was born. English was starting to replace Dutch as the cool foreign language of the archipelago, and so he replaced "i" with the Anglo "y", ending with Gerdyman, whereas his brothers and sisters all kept Gerdiman.

Prior to becoming a US citizen last October in 2006, I considered going back to the old family name. I weighed the costs and benefits and finally decided against it. I live in the San Francisco Bay area, and I can't imagine introducing myself as, "Hi, I am GE (Gay!)". Nothing against the gay people - my daughter's godfather is one - but I like to keep my sexual orientation clear and straight (pun intended). My son Joseph was born in December after I became a citizen. I soon realized I made a wise decision. You see, his middle name is Benjamin, and we often call him Joe Ben for short. My decision may have spared my son from future playground teasing: "Look, Joe Ben Gay is here, can you rub me, I just hurt my foot!". (Ben Gay is the popular brand of a pain relief ointment here in America).

Well, now I have an interesting story to tell. When I interview for a new job, the company interviewers expect to see a tall, blond guy. They almost always are startled to see a short Chinese guy walking in. It's a nice ice breaker. And with my gay friends I always joke: "You may be gay, but I am GE-er!"